Bisnis Rumput Laut di Sulawesi Selatan

|

Pengembangan rumput laut di wilayah pesisir Sulsel cukup menjanjikan. Wajar jika pemerintah menangkap peluang ini dengan mengajak masyarakat memanfaatkannya secara maksimal.

Walau begitu, fenomena yang cukup menggembirakan ini tidak boleh melenakan kita semua. Saatnya dilakukan kontrol dan upaya antisipasi menghadapi kemungkinan anjloknya harga rumput laut di masa yang akan datang.

Dewasa ini, perkembangan rumput laut Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya permintaan akan rumput laut dunia. Pasalnya, rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang penting, dan di tanah air menjadi salah satu komoditas yang banyak disukai masyarakat.

Itu karena selain cara pemeliharaannya praktis, juga harganya cukup menjanjikan. Bahkan menjadi penghasil devisa negara dengan nilai ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya.

Khusus di Sulawesi Selatan yang memiliki garis pantai kurang lebih 2.500 km dan luas areal pertambakan juga kurang lebih 58.000 hektare, potensi untuk pengembangan budidaya rumput laut di daerah ini cukup prospek.

Apalagi dengan adanya kemudahan yang didapatkan masyarakat dari pemerintah. Tidak heran jika dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, budidaya rumput laut yang ada di Sulsel cukup untuk meningkatkan volume ekspor. Bahkan boleh dikata jumlahnya terus mengalami peningkatan.

Namun, sebelum terlalu jauh membicarakan masalah rumput laut yang saat ini dikembangkan di Sulsel dan menjadi salah satu komoditi andalan, perlu diketahui bahwa rumput laut itu bukan hanya satu atau dua macam, tapi melainkan ada beberapa macam.

Akan tetapi, yang masuk dalam kategori memiliki nilai ekonomis hanya beberapa jenis yaitu antara lain Euchema cottoni dan Euchema spinosum yang tempat hidupnya di laut. Sedangkan yang hidup di tambak adalah Gracilaria, meski yang lainnya seperti Gelidium dan Hypena juga cukup baik untuk budidaya.

Namun, yang paling banyak dibudidayakan adalah Gracilaria dan Euchema cottoni. Walaupun masih banyak jenis yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tapi tidak seluruhnya berada di perairan Indonesia, melainkan di negara lain sehingga yang telanjur atau kebanyakan masyarakat mengenalnya hanya dua jenis rumput laut, yaitu Gracilaria dan Euchema cottoni.

Meski tidak disangkal bahwa jenis Gracilaria yang ditanam di tambak khususnya di Palopo tergolong yang paling baik mutunya, namun belakangan kualitasnya menurun sehingga harganya juga turun. Sedangkan khusus Euchema cottoni yang hidup di laut memiliki prospek yang sangat bagus.

Betapa tidak, jika jenis ini hampir seluruh masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai, melakukan kegiatan budidaya. Seperti halnya di Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkep, Barru dan lainnya.

Tidak salah jika produksi rumput laut di Sulsel mengalami peningkatan yang cukup �tajam�. Khusus produksi rumput laut di Sulsel, kini sudah mencapai 75 ribu ton per tahunnya dengan nilai ekspor di atas 13 ribu ton tiap tahun. Untuk 2008 ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel mematok produksi rumput laut naik 21 persen atau 90 ribu ton (Fajar, 22 Mei 2008).

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, memang patut kita acungkan jempol karena masyarakat yang membudidayakan rumput laut tersebut secara sepintas penghasilannya mulai ada perubahan, sehingga budidaya ini cocok untuk diterapkan.

Terbukti, masyarakat sudah mulai ada peningkatan kesejahteraan yang dialaminya karena selain kebutuhan rumah tangganya (keluarganya) tercukupi, juga sudah bisa mengalihkan sebagian hasilnya dengan melakukan investasi di tempat lain.

Ini membuktikan bahwa rumput laut sudah dapat mengubah pola hidupnya, meski tidak langsung berubah secara drastis, tapi perlahan dan seiring dengan berputarnya waktu.

Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, di mana para pembudidaya rumput laut terkadang kurang memperhatikan mutu atau kualitas dari pada rumput laut tersebut, sehingga tidak heran jika ada beberapa rumput laut yang dihasilkan mutunya di bawah standar.

Ini terjadi lantaran masyarakat kurang kepedulian dan ada kesan bahwa hanya ingin mengejar kecepatan dalam produksi (panen), tapi tidak memperhitungkan mutu atau jangka waktu budidaya yang sesungguhnya.

Misalnya, rumput laut yang ditanam tersebut belum sampai waktunya untuk dipanen, tapi mereka sudah memanennya karena hanya mengejar profit, sehingga kandungan atau kadarnya kurang baik tapi tetap mereka melakukan panen tanpa bisa menunggu batas waktu yang ditentukan. Apalagi harga rumput laut tergolong cukup �menggila�.

Bisa dibayangkan, rumput laut jenis Euchema cottoni yang dibudiayakan di laut harganya mencapai Rp 11.000-12.000 per kilogramnya, sehingga ini yang membuat masyarakat tergiur oleh harga yang melambung tinggi itu.

Sedangkan jenis Gracilaria yang dibudidayakan di dalam tambak, harganya tidak terlalu bagus, bahkan hanya mencapai Rp 3.500 - 5.000 per kg sehingga masyarakat kurang ingin melakukan budidaya tersebut.

Akan tetapi, Euchema cottoni yang lagi naik daun harganya, maka masyarakat berlomba-lomba membudidayakannya, sehingga tidak heran jika pesisir pantai (laut) telah dikapling-kapling oleh masyarakat demi untuk mencari tempat budidaya. Karena selain cara tanamnya tergolong mudah, harganya cukup menggiurkan.

Akibat pengkaplingan laut ini nyaris menimbulkan adu jotos sesama masyarakat, karena ada juga masyarakat yang tidak peduli dengan harga yang tinggi itu, melainkan hanya mengandalkan hasil penangkapan ikan di laut, sehingga tempat atau tambatan perahunya nyaris tidak ada.

Melihat harga rumput laut tersebut yang cukup fantastis itu, maka tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan �musibah� lantaran harganya bisa jatuh atau anjlok.

Persoalannya, kalau kita melihat pengalaman yang terjadi di negeri ini, di mana tanaman yang pernah �menyulap� masyarakat menjadi kaya seperti harga cengkeh, vanili, coklat dan merica (lada) yang pernah mengalami harga yang cukup tinggi. Bayangkan saja, jika vanili di Sinjai pernah mencapai harga Rp 250.000 per kg, namun sekarang hanya bisa dihargai sebesar Rp 15.000 per kg.

Ini merupakan pukulan yang berat bagi petani. Dengan adanya kenyataan itu, maka rumput laut sekarang yang lagi naik daun juga bisa saja mengalami hal yang sama, bila produksi di dunia mengalami peningkatan dan melebihi kapasitas.

Apalagi negara Chili merupakan saingan berat dan penghasil rumput laut terbesar di dunia dan memiliki mutu dan kualitas yang tinggi, sehingga harus bersaing jika Indonesia juga akan mengespor rumput lautnya. Meski sekarang ini rumput laut Indonesia sudah memasuki pasar dunia, namun harus menjaga mutu sesuai dengan standar internasional yang berlaku.

Olehnya itu, adanya kebijakan pemertintah dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel untuk mengajak masyarakat dalam rangka membudidayakan rumput laut jenis Cottoni ini merupakan hal yang bagus, namun bila seluruh masyarakat yang ada di pesisisr pantai juga melakukannya, maka blooming rumput laut bisa saja terjadi yang berakibat fatal pada masyarakat itu sendiri.

Pasalnya, bila harga rumput laut tiba-tiba jatuh, maka sudah pasti bahwa masyarakat petani rumput laut secara otomatis akan berpaling lagi dan serta-merta meninggalkan pekerjaan tersebut. Bahkan hal seperti bisa menimbulkan stres yang berujung pada penyesalan berkepanjangan jika pemerintah tidak segera melakukan langkah-langkah konkret.

Apalagi masyarakat kita yang sebagian memiliki moral kurang bagus karena mereka tergolong orang yang belum bisa mengendalikan emosinya, misalnya saja melihat orang lain melakukan budidaya dan berhasil, maka tanpa ada perintah mereka berlomba melakukan hal yang sama,

sehingga dalam waktu tidak terlalu lama akan terjadi produksi yang melimpah dan ini bisa mempengaruhi harga bisa anjlok akibat tidak adanya pasar yang bisa menampung. Mengantisipasi kenyataan ini, maka langkah bagi penentu kebijakan dalam mengantisipasi sedini mungkin hal-hal yang dapat menyengsarakan petani rumput laut di daerah ini,

karena kebiasaannya bila harga telanjur jatuh, maka tidak bisa lagi dipulihkan atau dikembalikan, sehingga masyarakat juga yang megalami kerugian, baik materil maupun tenaga. Di sinilah tantangan yang berat bagi penentu kebijakan dalam memberdayakan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Meski niatnya yang bagus, namun bila itu semua yang dikerjakan orang maka suatu saat hasil produksi akan berlimpah dan ini bisa membawa �malapetaka� bagi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, langkah-langkah atau jurus-jurus strategis harus dicarikan sebelum harga rumput laut yang sekarang ini mencapai Rp 12.000 per kg jatuh seperti beberapa komoditi sebelumnya.

Ini merupakan sebuah tantangan yang harus diperangi mengingat gejolak perekonomian yang kian tidak menentu, sehingga bisa menimbulkan berbagai persoalan baru bila hal itu terjadi. Semoga apa yang didambakan petani rumput laut di daerah ini dapat terwujud.

Penulis :
Andi Baso Tancung (Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM) Sulsel)
from www.fajar.co.id

0 comments:

Search Engine Optimization - AddMe